Kondisi jenuh investasi di sektor ketenagalistrikan Indonesia menjadi sorotan, terutama karena ketidakpastian tinggi. (Antaranews.com)

Pembangkit listrik di Indonesia mengalami penurunan dalam realisasi investasi, menciptakan kekhawatiran di kalangan investor ketenagalistrikan Indonesia. Meskipun transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) memerlukan dana yang besar, sektor ketenagalistrikan Tanah Air mengalami kesulitan, terutama dengan kondisi surplus listrik dan ketidakpastian hukum. Investasi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2023 mencapai 87 persen dari target, yaitu sekitar US$5,75 miliar dari target US$6,64 miliar. Angka ini menandai penurunan dari tahun 2022 dan 2021, yang masing-masing mencapai US$6,64 miliar dan US$6,71 miliar.

Kondisi jenuh investasi di sektor ketenagalistrikan Indonesia menjadi sorotan, terutama karena ketidakpastian tinggi. Investor cenderung berhati-hati dalam mengeksekusi investasi mereka, dengan berbagai hambatan yang menghalangi aliran investasi. Salah satu contohnya adalah proses divestasi Mitsui & Co., Ltd terhadap Paiton Energy, sebuah IPP besar di Indonesia. Divestasi ini telah menciptakan preseden nyata bagi pandangan investor terhadap Indonesia.

Proses divestasi Mitsui terhadap Paiton Energy, yang dimulai sejak 2021, masih terhambat hingga saat ini. Meskipun transaksi ini mematuhi peraturan yang berlaku di Indonesia, termasuk Perjanjian Sponsor dan Perjanjian Sponsor Ekspansi, pengalihan saham Mitsui ke RATCH Group dari Thailand dan Medco Indonesia masih tertunda. Kondisi ini menciptakan keraguan di kalangan investor terkait kepastian hukum dan proses investasi di Indonesia.

Paiton Energy, sebagai contoh, telah terikat oleh power purchase agreement (PPA) jangka panjang hingga tahun 2042. Hal ini menciptakan tantangan tersendiri bagi investor di sektor energi di Indonesia, khususnya yang bergerak dalam EBT. Kepala Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menyatakan bahwa investasi di sektor ketenagalistrikan Indonesia menjadi tantangan yang cukup besar, terutama dengan kondisi demand yang tidak mampu menyerap produksi listrik yang agresif selama 10 tahun terakhir.

Indef mencatat bahwa kondisi oversupply pada tahun 2022 mencapai 6-7 GW, dan masih ada sekitar 4 GW pada tahun 2023. Faktor-faktor ini tercermin dari beberapa revisi Rencana Umum Pembangunan Ketenagalistrikan (RUPTL), di mana pertumbuhan konsumsi listrik tidak sesuai dengan target awal. Kapasitas suplai listrik telah mencapai surplus sekitar 25% dalam satu dekade terakhir, terutama setelah proyek pembangkit listrik mega 35.000 MW.

Untuk mengatasi titik jenuh dalam investasi ketenagalistrikan, diperlukan langkah-langkah untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri. Terlebih lagi, investasi dalam independent power plant (IPP), khususnya yang terkait dengan EBT, harus dilihat secara holistik dengan mempertimbangkan kebutuhan industri dan sektor-sektor unggulan. Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi, menekankan bahwa tantangan investasi di sektor ketenagalistrikan semakin kompleks dengan tren transisi energi, sementara ketidakpastian datang dari pengambil keputusan dan kebijakan yang seringkali bervariasi.

Meskipun tantangan besar dihadapi dalam sektor ketenagalistrikan Indonesia, tetapi dengan strategi yang tepat, termasuk pemahaman yang komprehensif terhadap demand dan kondisi eksisting, investasi di sektor ini masih bisa tumbuh dan mendukung transisi menuju energi baru terbarukan.

Demikian informasi seputar perkembangan ketenagalistrikan Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Futurebali.Com.