Pemerintah Indonesia mempertimbangkan opsi hilirisasi batu bara yang tidak terpakai sebagai bahan baku pembangkit. (titaninfra.com)

Pemerintah Indonesia semakin berkomitmen untuk mencapai target net zero emisi pada tahun 2060 dengan memprioritaskan penggunaan energi bersih. Meski fokus pada energi baru terbarukan (EBT), pemerintah tidak mengabaikan sumber daya energi konvensional seperti batu bara. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki infrastruktur pembangkit listrik berbahan baku batu bara yang signifikan.

Oleh karena itu, meskipun menuju net zero emisi, batu bara tetap menjadi salah satu sumber energi utama hingga tahun 2057, sesuai dengan peta jalan Kementerian ESDM. Dalam upaya menjaga ketersediaan energi bagi masyarakat, terutama saat penggunaan batu bara mulai berkurang, pemerintah berencana memperkuat pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).

“Kontrak PLTU berlangsung 25-30 tahun, sehingga puncak penggunaan batu bara berada antara tahun 2030 hingga 2035, setelah itu melandai seiring berakhirnya masa kontrak PLTU,” ungkap Dadan.

Dalam konteks ini, pemerintah juga mempertimbangkan opsi hilirisasi batu bara yang tidak terpakai sebagai bahan baku pembangkit. Dadan mengusulkan transformasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) melalui proses gasifikasi. DME dapat digunakan sebagai pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) dengan konsumen yang sudah ada.

Pentingnya mengarahkan produksi ke arah yang ramah lingkungan juga diakui oleh Dadan. “Kita ini harus mengarah ke green product, kita harus menciptakan green industri disini, karena memang nanti akan dilihat dari sisi prosesnya itu bagaimana sih cara memproduksi produk ini,” katanya.

Dengan transformasi ini, Dadan melihat peluang besar untuk memasarkan produk hijau hasil olahan batu bara ke pasar internasional. Produk berbasis batu bara yang diubah menjadi DME atau metanol, dengan proses produksi bersih tanpa emisi, dapat menjadi komoditas yang kompetitif di pasar global.

Dalam perspektif perdagangan internasional, Dadan menekankan bahwa ekspor ke Eropa, yang mulai memberlakukan regulasi ekspor pada tahun 2026, akan mempertanyakan aspek produksi dan dampak lingkungan. “Mereka akan tanya cara produksinya seperti apa, untuk mengetahui berapa karbonnya. Kalau melewati batas, mereka akan terapkan pajak karbon terhadap produk tersebut,” tambah Dadan.

Dengan demikian, transformasi ini tidak hanya mengarahkan Indonesia menuju net zero emisi tetapi juga menciptakan peluang ekspor melalui produk hijau yang ramah lingkungan. Inisiatif ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan energi masyarakat.

Demikian informasi seputar peran Batu Bara dalam era pengembangan transisi energi. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Futurebali.com.