Kasus vaksin palsu yang melibatkan Irnawati, Sutanto, Mirza dan 11 terdakwa lainnya telah rampung melalui jalur persidangan dan juga telah dijatuhi vonis oleh pengadilan. Kepastian ini dikonfirmasi oleh Kepala Humas Pengadilan Negeri Suwarsa yang menyebut bahwa para terdakwa sudah dijatuhi vonis sesuai dengan fakta persidangan dan peran dalam kasus vaksin palsu.
Hakim Pengadilan Negeri Bekasi menjatuhkan vonis kepada Iin Sulastri dengan hukuman 8 tahun kurungan penjara dan denda Rp 100 juta. Sedangkan untuk Syafrizal mendapatkan vonis 10 tahun kurungan penjara dengan denda Rp 100 juta. Keduanya merupakan pasangan suami istri yang berperan membantu peredaran vaksin palsu dan proses produksi.
Persidangan Irnawati, Sutanto, Mirza dan 11 terdakwa kasus vaksin palsu.
Bersumber dari data Pengadilan negeri Bekasi, seluruh terdakwa telah mengikuti persidangan diantaranya Hidayat Taufiqurahman, Rita Agustina, Irnawati, Sutanto, Mirza, Iin Sulastri, Sugiyati, Nina Farida, Suparji, Agus Priyanto, Seno, Syahrul Munir, Manogu Elly Novita, Sutarman, Thamrin, dan Muhamad Farid.
Irnawati yang merupakan perawat di Rumah Sakit Harapan Bunda dalam kasus vaksin palsu ini berperan sebagai pemasok botol untuk vaksin palsu. Dalam persidangan ditemukan fakta bahwa botol tersebut dijual kepada tersangka bernama Hidayat Tauifiqurahman dan Rita Agustina.
Sedangkan untuk tersangka atas nama Sutanto dan Mirza dalam kasus vaksin palsu berperan sebagai distributor vaksin di wilayah Jawa Tengah. Kedua tersangka ditangkap di Jalan Agus Salim, Semarang, Jawa Tengah. Melalui keterangan keduanya menyebutkan bahwa vaksin palsu tersebut diedarkan oleh Sutanto dan Mirza di wilayah Jawa Tengah dan Medan.
Sementara untuk berkas terdakwa lainnya masih berada di Kejaksaan Agung karena masih dalam tahap penyempurnaan beberapa berkas yang belum lengkap. Kejaksaan Agung juga menginginkan untuk berkas antara satu terdakwa dengan terdakwa lainnya terpisah, atau bisa disebut satu terdakwa satu berkas. Namun hal ini bisa mengakibatkan hukuman yang dijatuhkan tidak maksimal karena dalam kasus vaksin palsu kejahatan yang dilakukan konteksnya dalam satu jaringan sehingga bisa tidak terlihat. Namun jika berkas dijadikan satu maka jaringan yang terlihat dalam kasus vaksin palsu ini akan terlihat jelas, sehingga penetapan hukuman pasti akan lebih maksimal.
Disisi lain pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memberikan penyataan bahwa ada beberapa dokter yang terlibat dalam kasus vaksin palsu, pihak IDI tetap berpatokan terhadap asas praduga tak bersalah dan memberikan pendampingan kepada para dokter yang terlibat di kasus vaksin palsu.