Eksplorasi migas di Aceh memiliki posisi strategis dalam pengelolaan sumber daya energi nasional. Dengan dasar hukum yang kuat, yakni UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan PP No. 23 Tahun 2015, Aceh mendapat kewenangan khusus dalam mengelola hulu migas.
Hal itu menjadikan Aceh sebagai salah satu daerah istimewa dalam tata kelola migas di Indonesia.
Sejarah eksplorasi migas di Indonesia dimulai pada 1885 di Telaga Said, Sumatera Utara. Aceh dengan cekungan North Sumatera Basin dan Sibolga Basin, menjadi salah satu pusat eksplorasi penting. North Sumatera Basin, yang memiliki total sumber daya 10.343 MMBOE, menunjukkan potensi besar untuk cadangan migas baru.
Namun, kegiatan eksplorasi migas di Aceh ini masih belum maksimal, membuka peluang besar untuk pengembangan.
Kendati demikian, tantangan dalam pengelolaan hulu migas di Aceh tidaklah ringan. Pembatasan wilayah kewenangan hingga 12 mil laut sebagaimana diatur dalam PP No. 23 Tahun 2015 sering menimbulkan persoalan teknis dan operasional.
Blok-blok migas seperti Andaman III yang melampaui batas 12 mil menjadi contoh kompleksitas pengelolaan. Beberapa investor luar negeri bahkan mengurungkan niat mereka karena ketidakjelasan regulasi.
Meski demikian, kolaborasi antara Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) dan SKK Migas menjadi kunci untuk menjawab tantangan tersebut. Penyatuan manajemen operasi di Blok NSO dan Blok B, misalnya, menjadi salah satu upaya menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan migas di Aceh.
Dengan potensi besar dan dukungan regulasi yang kuat, eksplorasi migas di Aceh dapat menjadi pilar penting dalam ketahanan energi nasional.
Diperlukan percepatan eksplorasi migas di Aceh serta sinergi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan pengelolaan sumber daya migas ini dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat Aceh dan Indonesia.
Demikian informasi seputar perkembangan eksplorasi migas di Aceh. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Futurebali.Com.
